PERJALANAN

Apa yang menghubungkan kita dengan negeri-negeri yang jauh dari kampung halaman kita? Mungkin salah satu jawabannya adalah tahun-tahun yang penuh dengan peristiwa penting. Tahun-tahun bergejolak yang mengubah kehidupan sejumlah kecil orang menjadi lebih makmur, dan menjadi jauh lebih buruk bagi sebagian besar lainnya. Ini adalah catatan pendek tentang tahun-tahun tonggak Republik Demokratik Kongo[1].

***

Selain Etiopia, Kongo adalah salah satu negara pertama di benua Afrika yang saya tahu di antara sekian banyak negara di benua itu. Jika Etiopia saya tahu pertama kali dari lagu Iwan Fals, maka Kongo lain lagi ceritanya. Saat saya duduk di bangku Sekolah Dasar era 1990an awal, buku cetak mata pelajaran Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB) mencatat tentang peran Indonesia mengirim pasukan penjaga perdamaian pada 1960an, Pasukan Garuda II dan III, ke negara yang sedang dikoyak perang itu. Selain melalui buku PSPB, hampir dalam waktu yang bersamaan: kota Kinshasa, presiden Mobutu Sese Seko juga sering saya tonton dalam program acara Dunia Dalam Berita dan Berita Terakhir, TVRI. Di kemudian hari ketika saya mulai gandrung membaca buku-buku tentang perjuangan pembebasan nasional, selain menemukan nama Ho Chi Minh dari Vietnam, Che Guevara dari Argentina/Kuba, Mao Tse Dong dari Cina, dan Soerkarno serta Tan Malaka dari Indonesia, saya juga menemukan nama Patrice Lumumba, pejuang pembebasan Kongo.

Republik Demokratik Kongo adalah negara dengan sejarah pertikaian yang panjang. Segala sumber daya alam yang melimpah ruah dalam bentuk berlian, uranium, kobalt dan bahan mentah pertambangan lainnya, tidak lantas menjadikan Kongo sebagai negara dengan tingkat kesejahteraan tinggi. Malah kekayaan alam tersebut menjadikan Kongo medan pertempuran fisik yang mengorbankan manusia dengan jumlah yang tidak sedikit. Ini terjadi dari era penjajahan Belgia sampai saat ini. Bahkan pada 1885, Kongo pernah menjadi milik pribadi Raja Belgia, Leopold II, berdasarkan keputusan Konferensi Berlin. Selama dimiliki secara pribadi oleh orang kulit putih dari 1885 sampai 1908, tercatat setidaknya sekitar 10 sampai 11 juta orang Kongo tewas, hilang atau hidup menderita parah. Mereka bekerja paksa mengekstrak karet dan gading gajah. Dalam berbagai catatan dan foto membuktikan banyaknya orang Kongo cacat seumur hidup karena menolak bekerja paksa: tangan mereka dipotong oleh aparat raja.

Lalu muncul Patrice Lumumba. Ia pejuang pembebasan nasional yang berhasil membawa negeri itu merdeka dari Belgia pada 1960. Sayangnya Lumumba tidak bertahan lama sebagai perdana menteri pertama di tanah air yang ia bebaskan dari penjajah. Kurang dari enam bulan setelah dilantik, sebuah konspirasi aneh internasional tingkat tinggi menggulingkannya. Ia lalu dibunuh melalui pelatuk regu tembak kelompok elit oposisi Kongo. Ia tewas di usia 35 tahun pada 1961. Kerajaan Belgia tentunya terlibat dan mereka baru meminta maaf secara resmi kepada masyarakat Kongo pada 2002 lalu. Di Indonesia, peristiwa yang dialami oleh Patrice membuat Soekarno mengabadikan nama itu sebagai nama jalan di kawasan Gunung Sahari. Tapi di era pemerintahan Orde Baru jalan itu berganti nama jadi Jalan Angkasa. Selain itu, banyak orang Indonesia diberi nama Patrice Lumumba oleh orang tuanya yang terinspirasi oleh kisah heroik Patrice.

Tak lama setelah Patrice Lumumba digulingkan dan dibunuh, Mobutu Sese Seko naik ke kursi kekuasaan pada 1965 melalui kudeta militer. Mobutu adalah mantan wartawan L’Avenir, pernah jadi editor Actualités Africaines, dan tentara berpangkat sersan mayor. Di bawah kekuasaan Mobutu, figur pemimpin bergaya hidup berfoya-foya, dengan ego raksasa, dan bertindak sebagai diktator brutal, Kongo memasuki era baru. Era yang tidak lebih baik dari sebelumnya. Era yang diisi oleh pemerintahan penuh dengan korupsi, kolusi dan nepotisme. Tahun-tahun di Kongo yang sia-sia karena salah urus. Di tangan Mobutu, nama Kongo diubah jadi Zaire. Dan ia sendiri mengubah namanya yang mengandung unsur Eropa, Joseph-Désiré Mobutu, menjadi Mobutu Sese Seko Kuku Ngbendu Wa Za Banga. Artinya: yang menaklukkan semua prajurit, yang meraih kegemilangan demi kegemilangan. Sebuah upaya pencitraan untuk meraih simpati nasional.

Sementara Mobutu dan para pendukungnya menikmati kekuasaan, seorang loyalis Patrice Lumumba secara diam-diam dan rapi menyusun rencana dan mempersiapkan bencana terhadap rezim Mobutu. Dia adalah Laurent Kabila, pemimpin gerilyawan Marxis berlatarbelakang pendidikan filsafat politik dan pengangum Mao Tse Dong. Di belantara Kivu, perbatasan Kongo dan Rwanda, Laurent mempersiapkan pasukan pemberontak dan menjalin kerjasama erat dengan orang-orang Tutsi. Di tempat itu pula, Laurent mendirikan gerakan revolusi rakyat yang menghidupi diri dari perdagangan emas dan gading. Sebelum menyingkir ke Kivu, setelah kematian Patrice, Laurent pernah berhubungan langsung dengan Che Guevara pada 1964 ketika Che berada di Kongo melatih sisa-siasa pasukan setia Patrice yang ingin melawan Mobutu. Dalam catatan Che, Laurent disebut sebagai satu-satunya orang di Kongo yang memiliki watak pemimpin massa yang sebenarnya. Namun di bagian lain catatannya, mungkin setelah gagal mengorganisir pemberontakan di Kongo, Che menyebutnya sebagai pemimpin yang tidak punya komitmen dan tidak mampu menginspirasi pengikutnya.

Dan sebagaimana semua rezim politik yang terlalu lama berkuasa, rezim Mobutu pun mengalami nasib yang sama. Setelah 32 tahun menikmati kursi kepresidenan, pada Mei 1997, ia digulingkan melalui pemberontakan dan kudeta yang dipimpin oleh Laurent bersama AFDL (Alliance des Forces Démocratiques pour la Libération du Congo-Zaïre). Perang Kongo I berkobar ketika pemberontakan dimulai dan berlangsung selama setahun dari 1996 sampai 1997. Sebelumnya, konflik berdarah antara orang Hutu dan Tutsi yang dimulai sejak 1994 sedang panas-panasnya dan berperan besar dalam pertikaian internal di Kongo ini. Dengan dukungan anak-cucu pemberontak loyalis Patrice dan orang-orang Tutsi, Laurent menyerbu Kinshasa dan memaksa Mobutu keluar dari Kongo. Pada bulan yang sama setelah menggulingkan Mobutu, Laurent lalu mengumumkan dirinya sebagai kepala negara dan mengganti Zaire menjadi Republik Demokratik Kongo sebagai tanda era baru sedang bermula. Selebihnya, Mobutu meninggal di pelarian beberapa bulan setelahnya pada September 1997 di Maroko.

Di tangan Laurent Kabila, Kongo yang sudah berlabel sebagai republik demokratik, mengalami babak baru, goncangan baru. Label demokratik tidak serta merta menyalurkan udara segar kebebasan. Pada Mei 1998, melalui sebuah dekrit, Laurent menahan sejumlah pentolan kelompok oposisi, melarang aktivitas politik, dan membekukan sejumlah organisasi pergerakan pro-demokrasi. Dan yang lebih parah adalah aliansi pendukung Laurent, AFDL, yang sebagiannya terdiri dari kelompok orang Tutsi, mengalami perpecahan. Orang-orang Tutsi yang dibekingi oleh pemerintah Rwanda dan Uganda merasa kecewa karena Laurent gagal meredam kelakuan para pemberontak Hutu dan pemburu liar di bagian Timur perbatasan Kongo -Rwanda/Uganda. Dan wilayah perbatasan tersebut adalah tempat Laurent menyusun kekuatan sosial, ekonomi dan politiknya. Dan juga tempat pengungsi Hutu asal Rwanda bermukim dan menata kembali kekuatan untuk balas dendam kepada orang Tutsi yang berkuasa di Rwanda. Situasi tidak bisa dikendalikan oleh Laurent. Malah cenderung ada pembiaran karena Laurent melihat orang Tutsi terlalu dominan di Rwanda. Dan Perang Kongo II pun pecah pada Agustus 1998. Perang ini sungguh menyulitkan posisi Laurent. Berkelindannya sejumlah kepentingan berbau perebutan sumber daya alam (baca: mineral), dan terutama gontok-gontokan dan saling berangus antara orang Hutu dan Tutsi di wilayah perbatasan, menyebabkan perang ini terus berkobar tanpa henti. Dan tentunya berdampak besar bagi kawasan Afrika bagian tengah.

Pada Januari 2001, Laurent ditembak oleh pengawalnya di istana kepresidenan di Kinshasa. Ia meninggal di pesawat dalam perjalanan menuju Harare, Zimbabwe. Sebelumnya, putrinya, Aimée Kabila Mulengela telah lebih duluan dibunuh. Dan tentunya keadaan menjadi semakin kacau, tak terkendali. Di tengah sengkarut situasi perang dan bunuh-bunuhan, putra Laurent, Joseph Kabila mengambil alih kekuasaan. Ia mengumumkan dirinya sebagai kepala negara, beberapa hari setelah ayahnya tewas tertembak. Ia pun berkuasa sampai sekarang sebagai presiden melalui pemerintahan transisi sejak 2001 dan melalui pemilihan umum pada 2006 dan 2011 lalu.

Dan Perang Kongo II terus berkobar. Karena melibatkan banyak negara di benua Afrika, perang ini sering disebut sebagai Perang Besar Afrika atau Perang Afrika I. Perang ini juga menyumbang kosa kata baru, mineral conflict, dalam bidang studi konflik dan perdamaian. Hal ini merujuk pada potensi sumber daya pertambangan yang menjadi pemicu utama. Sejumlah negara terseret dalam konflik berkepenjangan ini. Di atas kertas dan meja, perang telah usai melalui tandatangan, ketuk palu dan jabat tangan perdamaian pada 2002 lalu antara para penguasa negara-negara yang terlibat, terutama Kongo, Rwanda dan Uganda. Tapi di area perbatasan Kongo-Rwanda/Uganda, kelompok bersenjata tetap aktif, dan secara acak bisa tiba-tiba menyerbu dan memuntahkan peluru mengorbankan orang-orang Kongo, termasuk di kawasan taman nasional tertua Afrika: Virunga. Pasca penandatanganan perdamaian di atas, Indonesia mengirimkan lagi pasukan perdamaian ke Kongo sejak 2003 sampai 2006 untuk berjaga-jaga di Kinshasa.

***

Di Lubumbashi saat ini, hawa konflik masih terasa tebal. Di sejumlah titik dan sudut, tentara menumpuk karung dan di depannya ada kawat berduri sebagai tempat perlindungan jika tiba-tiba ada serangan dari kelompok bersenjata. Orang asing disarankan tidak secara mencolok mengambil gambar memakai kamera di ruang-ruang publik. Karena bisa saja diciduk oleh aparat dan otoritas bersenjata yang sudah siap dengan sejumlah pertanyaan mencurigai dan menyudutkan. Walhasil, mengambil gambar dari dalam mobil secara sembunyi-sembunyi adalah salah satu cara yang bisa dilakukan.

Lubumbashi yang dulunya bernama Élisabethville di era kekuasaan Belgia menyimpan banyak cerita besar. Uranium mentah yang diracik oleh pihak sekutu dalam Manhattan Project dan dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki pada 1945, berasal dari kota kecil ini. Di sini pula Patrice Lumumba ditembak mati dan sampai saat ini tidak pernah ditemukan jasadnya setelah dimutilasi. Tapi kota ini seakan tidak peduli dengan semua cerita-cerita besar yang mereka punya: mungkin karena semuanya berkaitan dengan pertumpahan darah. Seorang teman di sana bahkan heran ketika saya menyebut nama Patrice Lumumba. Katanya: orang Kongo saja sudah tidak terlalu peduli lagi dengan nama itu. Jadi jangan berharap di Kongo akan menemukan baju kaos bergambar wajah Patrice Lumumba, seperti baju kaos bergamba Ho Chi Minh dijual bebas di Vietnam, atau Mau Tse Dong di Cina dan Soekarno di Indonesia.

Di tengah cerita-cerita besar tadi, sekelompok aktivis seni dan kebudayaan mendirikan Centre d’Art Picha, semacam ruang seni independen yang menggarap cerita-cerita kecil tentang kotanya tanpa tendensi bertabrakan dengan arus utama. Setelah bekerja dari 2006, mereka berganti nama jadi Waza Centre d’Art Contemporaine. Oleh Picha/Waza ini pula Lubumbashi Biennale digarap dan sudah terselenggara untuk keempat kalinya pada 2015 lalu. Di tengah semua konflik dan ketegangan, kesenian menjadi salah satu pilihan untuk membebaskan diri dari rasa cemas dan takut. Bersama Waza, kami mengunjungi sejumlah orang yang menjadi bagian dari jaringan pekerja seni, antara lain: Manus, kelompok musik rock and roll yang memiliki program residensi di studio mereka; Unyaga, sebuah tempat penyelenggaraan kegiatan seni (mulai dari pemutaran film sampai pementasan teater) di dekat pasar tradisional yang semrawut dan becek. Tempat ini dikelola oleh seorang perempuan bernama Cecile Pemba. Singkatnya, kondisi yang sulit tidak lantas membuat orang-orang di Lubumbashi berdiam diri. Mereka tahu betul bahwa mereka punya banyak potensi selain potensi pertambangan dan konflik yang sudah lama berurat akar.

***

Setiba di Jakarta, setelah melewati penerbangan 20 jam lebih dan singgah untuk transit di Ndola (Zambia), Nairobi (Kenya) dan Bangkok, saya lalu mulai menulis tulisan ini. Mencatat tahun-tahun yang menjadi tonggak di Kongo, yang memiliki kesamaan dengan Indonesia dan menghubungkan kita dengan negara itu.

Mirwan Andan, April 2016

[1] Di benua Afrika, ada dua negara dengan nama Kongo. Keduanya bertetangga, Republik Demokratik Kongo (RDK) dengan ibukota Kinshasa, dan Republik Kongo (RK) dengan ibukota Brazzaville.