SENI & KEBUDAYAAN

Industri musik di Kota Ujung Pandang (sekarang Makassar) tidak lepas dari modernisasi dan perkembangan kebudayaan serta teknologi yang terjadi di Indonesia secara umum. Perluasaan kebudayaan di Indonesiaa adalah hal yang sangat fundamental dalam memandang perkembangan industri musik di kota ini. Kemunculan industri musik di Makassar dapat dilacak kembali ketika kota ini berkembang menjadi kota metropolitan pada abad ke-16 sampai ke-18, juga pada saat penggunaan media massa oleh pemerintah kolonial Belanda pada dekade 1930-an ketika radio dan rekaman diperkenalkan.

Perkembangan industri musik di Indonesia bermula ketika mesin gramofon Colombia buatan Amerika Serikat diimpor ke Hindia Belanda pada awal 1900-an. Media dari fonograf untuk merekam suara itu adalah piringan hitam, yang berbahan dasar sirlak (sejenis getah yang terbuat dari kotoran serangga kutu lak). Tahun 1903 beberapa album rekaman piringan hitam mulai masuk ke Indonesia dengan berbagai label rekaman, dan pada masa itu ada tiga saudagar Tionghoa yang mendirikan perusahaan rekaman, dua berada di Batavia yaitu Tio Tek Hong di Pasar Baru dan Lie A Kon di Pasar Senen dan satu lagi di Surabaya. Sekitar tahun 1904 Tio Tek Hong merupakan firma dagang yang tidak hanya berfokus pada musik tetapi banyak juga barang dagangan lainnya. Jika sebelumnya hanya menjual rekaman dari luar, Tio Tek Hong kemudian mengembangkan sayapnya ke bisnis rekaman, setahun kemudian pada 1905 Tio Tek Hong mulai merilis sejumlah piringan hitam dengan jenis musik yang dinyanyikan oleh berbagai macam penyanyi dan kelompok musik. Semua lagu ini direkam dengan piringan hitam ukuran 10 inci dan memiliki ciri khas tersendiri pada album-album rekaman yang diproduksinya. Ciri khasnya itu adalah di setiap lagunya terselip suara rekaman Tio Tek Hong yang berbunyi: “Terbikin oleh Tio Tek Hong, Batavia”. Namun popularitas dari piringan hitam pada saat itu sangat terbatas dikarenakan harganya yang sangat mahal. Namun hal ini menandai modernisasi dan perkembangan teknologi di zaman kolonial Hindia Belanda saat itu.

Perekaman musik pertama terjadi di Sulawesi Selatan pada 1932 oleh peneliti Jaap Kunst, seorang musisi sekaligus juga seorang peneliti yang tertarik dengan musik tradisional di Indonesia. Dalam kunjungannya ke Sulawesi, Kunst merekam dengan media silinder lilin. Hasil rekamannya sebagian besar rusak ketika dikirim ke Berlin Archives, dan ia memberikan catatan bahwa hasil rekamannya tidak untuk disebarluaskan. Rekaman dari Kunst ini merupakan hasil dari rasa kekhawatirannya mengenai alat musik, lagu atau produk seni musik tradisi yang akan punah. Ia juga sendiri menjadi pelopor bidang studi etnomusikologi. Musisi pertama Sulawesi Selatan yang masuk dapur rekaman pada zaman Pemerintah Kolonial Belanda adalah Hoe Eng Djie, peranakan Tionghoa dan salah satu musisi yang terkenal di Ujung Pandang mulai tahun 1930-1950-an. Pada 1938, 1939, 1940 ia diundang ke Surabaya oleh studio Hoo Eng Soo (Canary Records) untuk merekam beberapa Celebes Volksliederen (lagu rakyat Sulawesi), selain itu lagu-lagu yang ia ciptakan dan nyanyikan diiringi kelompok musiknya bernama Sinar Sedjati dan Wari-Waria yang dalam Bahasa Makassar berarti bintang pagi. Pada saat itu piringan hitam hasil rekaman Hoe Eng Djie tidak begitu banyak dinikmati oleh masyarakat Sulawesi Selatan. Dikarenakan harga dari gramofon yang relatif mahal, maka barang mewah tersebut hanya laku di kalangan menengah atas orang Tionghoa di Makassar. Meskipun tidak sedikit pula yang mengkritiknya, direktur Irama Baru Records mengatakan kebanyakan lagu-lagu dari Hoe Eng Djie lahir dari lontang (tempat menikmati ballo’ atau minuman beralkohol khas Sulawesi Selatan). Dalam karya lagunya, Hoe Eng Djie banyak bercerita tentang kisah hidup dan lingkungan sosialnya di mana ia tumbuh meskipun ia seorang keturunan Tionghoa tetapi ia kebanyakan bercakap dalam bahasa Melayu, Bugis, Makassar dan terkadang Belanda. Meskipun ia seorang Tionghoa, lagu-lagunya kebanyakan berbahasa Makassar dengan pola musikalitas yang terpengaruh oleh gaya Tionghoa. Meskipun karya-karya dari Hoe Eng Djie tidak banyak yang dapat menikmatinya pada saat itu dikarenakan tidak semua orang memiliki gramofon dan piringan hitam, karyanya tetap melegenda seperti Ati Radja, Amma Ciang, dan Sailong. Dia jugalah orang pertama yang berasal dari Ujung Pandang dan keturunan Tionghoa yang berhasil dan mendapatkan nama di kancah dunia dapur rekaman di nusantara.

Sejarah awal label rekaman pertama yang didirikan setelah kemerdekaan Republik Indonesia pada 1945 adalah label Irama didirikan oleh Sujoso Karsono pada 17 Mei 1951. Label rekaman ini merilis piringan hitam LP (Long Play) berisikan musik gamelan, musik untuk tari serimpi, dan disusul dengan rekaman musik populer Sarinande, musik instrumental dengan musisi Nick Mamahit. Selanjutnya disusul oleh munculnya label rekaman seperti Remaco (Republic Manufacturing Company) dan Dimita, Melati, Gateway, Parrot, Mesra, Golden Hand dan tentu saja perusahaan milik pemerintah Lokananta yang hanya berfokus pada musik tradisional Jawa, meskipun ada juga musik etnis lainnya namun jumlahnya hanya sedikit. Sejarah awal dari perusahaan label rekaman Lokananta, dimulai dengan munculnya keresahan pada dekade 1950-an mengenai lagu-lagu Barat yang mendominasi pasar di Indonesia. Direktur RRI Jakarta yang kedua pada saat itu mulai melakukan program untuk melawan invasi kebudayaan Barat dengan membuat program yang menginstruksikan 49 jaringan RRI di seluruh Indonesia untuk mengirimkan rekaman lagu daerah masing-masing dan setiap stasiun minimal mengirimkan dua buah lagu. Akhirnya RRI memiliki 98 buah lagu daerah yang direkam ulang di RRI Surakarta kemudian didistribusikan ulang ke seluruh cabang RRI di seluruh Indonesia.

Setelah program tersebut, Maladi, R. Oetojo Soemowidjojo dan R. Ngabehi Soegoto Soerjodipoero yang masing-masing menjabat Kepala Studio dan Kepala Teknik Produksi RRI Surakarta berinisiatif mendirikan pabrik piringan hitam milik pemerintah. Awalnya hanya menggandakan dan memenuhi siaran RRI dengan nama label Indra Vox pada 29 Oktober 1956 di Solo. Baru pada 1958 berubah nama menjadi Lokananta. Karena banyaknya peminat dari pendengar radio RRI untuk membeli album piringan hitam Lokananta, pada 1959 Departemen Penerangan mulai menjual hasil piringan hitamnya secara mandiri dan secara umum. Dekade 1950-an juga merupakan era ketika modernisasi dan masifnya pengaruh praktik kebudayaan Barat masuk ke Indonesia. Banyak orang terpengaruh dalam aspek gaya hidup, musik, dan tata busana. Dalam hal industri rekaman, Lokananta hanya berfokus untuk lagu-lagu daerah. Ada juga yang berfokus ke musik populer seperti Irama Records yang merekam semua jenis genre musik dan melahirkan pentolan penyanyi dan band pada saat itu dan berkiblat ke kebudayaan Barat, seperti Sam Saimun, Bing Slamet, Sudarwati atau yang kita kenal sekarang Titiek Puspa dan band legendaris pada dekade 50-an Koes Bersaudara, yang kemudian berganti nama menjadi Koes Plus.

Pada dekade 1950-an belum dapat dijumpai perusahaan label rekaman di Kota Ujung Pandang, hanya Radio Republik Indonesia (RRI) yang memfasilitasi penyiaran lagu-lagu daerah atas permintaan RRI Jakarta. Hoe Eng Djie pada saat itu diundang sekaligus menjadi kepala rombongan untukk memainkan musik-musik makassar. Ia juga mengorbitkan penyanyi-penyanyi terkenal di Ujung Pandang yakni Daeng Gassing, Tjung-an, Hasanuddin, Abdullah dan Adang. Ia kemudian membentuk band Singara Kullu-kulluwa. Pada 2 September 1953 ia diterima oleh Presiden Soekarno di Istana Kepresidenan dan menerima surat penghargaan atas jasa-jasanya. Selain Hoe Eng Djie ada juga penyanyi kelahiran Jawa, yang memimpin kelompok musik, sekaligus juga anggota militer yaitu Djajadi Djamain yang populer di Ujung Pandang tahun 1950-an. Ia merekam lagu Makassar dengan iringan band Dasa Rama Band. Lagu-lagu yang ia bawakan seperti Ati Raja (Hati Raja atau Jiwa Besar) dan Dongang-Dongang. Semua lagu ini direkam dan dipasarkan oleh Lokananta. Corak musiknya berbeda dengan Hoe Eng Djie, ia lebih membalut musik daerah dengan irama dan harmoni Latin, dengan nada baru yang ia bawakan. Banyak pula pemusik lokal yang mengkritiknya dikarenakan ia dianggap salah menafsirkan kebudayaan lokal. Ada juga penyanyi atau seniman musik Makassar pentolan dari RRI pada saat itu selain Hoe Eng Djie dan Djajadi Djamain yaitu Bora Daeng Irate, B. Manjia, Sum Daeng Caya, Daeng Rombo, Kumalasari dan Ratnasari dari Orkes Irama Satria.

Akibat meluasnya pengaruh kebudayaan Barat saat itu, muncul kekhawatiran di kalangan pemerintah mengenai kebudayaan Indonesia yang mulai terkikis dan terlupakan di kalangan anak muda. Pada 17 Agustus 1959, Presiden Soekarno dalam pidatonya memaparkan Manifestasi Politik (Manipol) yang berisi tentang desakan kepada anak-anak muda untuk melawan pengaruh kebudayaan Barat yang oleh Soekarno pengaruh tersebut mengandung unsur-unsur Neo-Kolonialis dan Imperialis Barat (Nekolim). Akibat dari kebijakan tersebut, lagu-lagu barat seperti The Beatles dan Elvis Presley dikeluarkan dari RRI dan diganti dengan musik pop yang lebih mengandung unsur-unsur keindonesiaan. Bahkan rekaman-rekaman musik rock pada saat itu dikumpulkan dan dibakar di depan umum. Reaksi yang terjadi mengenai pelarangan itu, membuat banyak musisi berpaling ke lagu daerah dan lagu-lagu daerah tersebut diaransemen ulang ke irama rock atau cha-cha-cha. Oslan Husein bersama band Taruna Ria menyanyikan Bengawan Solo karya Gesang dengan gaya keroncong. Orkes Gumarang mempersembahkan lagu-lagu pop Minang. Dondong Opo Salak, sebuah lagu berbahsa Jawa dinyanyikan ulang oleh Kris Bintoro. Biduanita Lenny Bislar menyanyikan ulang lagu Anging Mammiri dalam gaya pop. Sebagaimana lagu Ampar-Ampar Pisang dinyanyikan ulang oleh Taboneo dan lagu Ambon dan Sarinande dinyanyikan ulang oleh Bob Tutupoli.

Memasuki era 1960-an lagu-lagu berbahasa daerah yang berasal dari Sulawesi Selatan dan direkam oleh Lokananta mulai mendapatkan tempat di skena musik nasional. Lagu-lagu seperti Anging Mammiri dan Ati Raja disiarkan oleh radio-radio di Pulau Jawa selama 1960-an. Namun Lokananta sebagai perusahaan rekaman milik negara mulai mengalihkan perhatiannya dari Sulawesi Selatan. Banyak dari rekaman lagu-lagu berbahasa Bugis atau Makassar hampir semuanya direkam di Surakarta atau Jakarta dan kerap dibawakan oleh orang Ambon dan Jawa. Era dari Lokananta tidak begitu lama dikarenakan tumbuh kembangnya label-label rekaman swasta dan fokus konsentrasinya hanya pada musik-musik Jawa.

Fahmi Sukarta, 2025

 

Referensi:

Estudiantin, N. L. (2017). Melacak Jejak Jaap Kunst. Retrieved June 20, 2025, from https://www.museumnasional.or.id/melacak-jejak-jaap-kunst-1917

Koro, N. (2009). Makassar Terkenang Masa Lalu. Jakarta, Indonesia: Mitracard Grafika.

Nugraha, D. (2016). Perkembangan Musik Post-Hardcore Dalam Industri Musik Indonesia 1993–2010 [Skripsi, Universitas Negeri Jakarta].

Sakrie, D. (2013, September 22). Tio Tek Hong, label rekaman pertama di Indonesia. Retrieved June 20, 2025, from https://dennysakrie63.wordpress.com/2013/09/22/tio-tek-honglabel-rekaman-pertama-di-indonesia/

Sen, K., & Hill, D. T. (2001). Media, Budaya, dan Politik di Indonesia. Jakarta, Indonesia: ISAI.

Setiawan, A. (n.d.). Jaap Kunst Mengabdi Pada Musik Tradisi. Historia. Retrieved June 20, 2025, from https://historia.id/kultur/articles/jaap-kunst-mengabdi-pada-musik-tradisiPRVqa/page/1

Sutton, R. A. (2002). Calling Back the Spirit: Music, Dance, and Cultural Politics in Lowland South Sulawesi: Oxford, Oxford University Press, 2002.

Syam, U. (2019). Ho Eng Dji Penyair Pencari Takdir. Lensa Budaya: Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Budaya, 14(1), 1–10.

Triatmaja, C. B., Surtihadi, R. M., & Susantina, S. (n.d.). Musik Indonesia dalam dokumentasi diskografi Lokananta Surakarta. Jurnal Musik Indonesia.

Wawancara dengan Theresia Hwo, Direktur Irama Baru Records, Makassar. (n.d.).